Selasa, 15 Oktober 2013

Saya Dan Tuhan: Masa Baru Mengenal



Dari judul sudah terdengar mengerikan memang. Pengen curhat saja mengenai hubungan saya dengan Beliau yang maha esa, hehehe. BTW tulisan atau curhatan ini bukan untuk membuat anda terinspirasi seperti semacam Auto-Biografi orang-orang terkenal. Siapalah saya hanya orang biasa. Jadi jangan pakai ini sebagai rujukan ya. Hehehe terimakasih

Sudah beberapa hari ini gundah gulana ingin menulis sesuatu yang saya alami, spiritualitas. Ah banyak hal yang terjadi hingga membuat prolog yang saya buat terlihat berlarut-larut. Tuhan benar-benar menguji saya dalam ke-Imanan seiring berjalannya waktu saya menjadi seperti saat ini, menjadi seorang pria yang telah berkepala dua.

Saya terlahir dari keluarga dan masyarakat yang beragama Islam hampir 100%, disebuah kampung bernama Pagedangan yang kala itu masuk Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang. Seperti kebanyakan anak-anak yang terlahir di tahun 90an, pendidikan sudah dianggap menjadi dasar yang penting bagi orang tua. Kebetulan bapak saya seorang Guru SD dan SMP(saat itu, sekarang beliau cuma aktif di SD) jadi beliau sangat sadar akan pentingnya pendidikan hingga beliau tidak merokok dirumah. Sedangkan ibu saya adalah mantan Santri ketika masa sekolahnya yang membuatnya terkadang menjadi guru ngaji, juga ketika hari besar seperti Idul Adha atau Idul Fitri serta bulan puasa beliau sering menjadi imam dan khotib untuk musola khusus wanita di kampung.

Atas dasar itulah di umur saya yang ke 4 mereka mulai memasukan saya pada jenjang pendidikan TK Islami. Saya tidak begitu ingat apa yang terjadi kala itu, yang saya ingat adalah saya di ajarkan huruf arab(setelah saya sadar beberapa tahun kemudian) namun lebih suka keluar kelas lalu bermain-main karena saya punya masalah menulis dan membaca di bandingkan anak lain yang membuat saya tidak tertarik terhadap kegiatan kelas. Seminggu kemudian saya minta D.O dari TK kepada ibu. Hahaha, hari itu saya masih ingat ketika pagi dimana ibu memandikan saya untuk bersiap berangkat ke TK, saya berkata “Mah, abi gak mau kesana”. Abi atau Ebi adalah nama kecil saya, saya di panggil ebi dikarenakan saya lahir ketika usia kehamilan ibu baru 8 bulan, yang membuat saya ketika lahir terlihat kecil seperti udang kering disbanding bayi lainnya. Sedangkan kenapa saya bilang “gak mau kesana” sebab saya belum tau sama sekali saat itu tempat itu adalah sekolah.

Mendengar saya berkata seperti itu ibu seingat saya terlihat sedih, tapi akhirnya menyetujuinya. Jadilah saya terlihat lebih terlambat dalam hal apapun di bandingkan anak seusia saya lainnya. Mereka sudah bisa menulis dan mengaji(membaca) sedangkan saya tidak bisa apa-apa. Jadi bahan bully keluarga besarpun sering saya alami, saya selalu dibanding-bandingkan dengan sepupu saya yang seumuran yang sudah mahir membaca dan menulis.

Well, itu memang masa yang berat. Kau sudah dianggap pecundang sejak kecil memang menyakitkan. Ibu dan Bapa akhirnya mulai mengajari saya dasar-dasar pemahaman agama. Ibu saya mengajarkan mengaji, sedang bapa mengajarkan solat dan ke-Tuhanan. Disitulah saya mengenal Tuhan dengan nama Allah. Bapa mengajarkan bahwa segala hal adalah ciptaan Allah, termasuk saya. Mulai membicarakan Manusia yang di ciptakan dari tanah yang membuat saya bingung tak terbayangkan. Tapi setidaknya saya mengenal Tuhan, walau konsep ke-Tuhanan itu sungguh tak bisa saya mengerti kala itu(sampai hari ini sebenarnya). Seperti dimana Allah? Allah itu laki-laki atau perempuan?, dll. Syukurlah Bapa selalu menjawab sebisanya.
Saya memang tertarik pada konsep ke-Tuhanan dan penciptaan segala hal. Tapi entah mengapa ngaji dan solat saya tidak tertarik sama sekali saat itu. Saat itu ibu mengajarkan ngaji dengan hanya menyuruh saya mengulang perkataannya. Misal ibu bilang “Bissmillah” saya mengulanginya. Tapi itu tidak menarik sama sekali, saya hanya ingin cerita tentang Allah yang maha kuasa itu. Hingga suatu malam selepas mahgrib dimana saat saya tidak mau mengulangi apa yang di ucapkan ibu ketika mengaji bapa saya yang mengawasi menjadi marah dan lalu mengurung saya di kamar sendirian tanpa lampu menyala. Saya menangis, bapa terus mengomeli dari luar kamar seraya berteriak “Kalo mau dikeluarin dari kamar harus mau ngaji”. Saya pun menyetujuinya secara terpaksa, dari dalam hati saya kala itu ada kebencian terhadap hal-hal bernama ngaji itu.

Well mungkin sekian dulu curhatan ini, jika yang kuasa masih memberi waktu hidup di dunia kepada saya, saya akan melanjutkanya. Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar