Dari
judul sudah terdengar mengerikan memang. Pengen curhat saja mengenai hubungan
saya dengan Beliau yang maha esa, hehehe. BTW tulisan atau curhatan ini bukan
untuk membuat anda terinspirasi seperti semacam Auto-Biografi orang-orang terkenal.
Siapalah saya hanya orang biasa. Jadi jangan pakai ini sebagai rujukan ya.
Hehehe terimakasih
Sudah
beberapa hari ini gundah gulana ingin menulis sesuatu yang saya alami,
spiritualitas. Ah banyak hal yang terjadi hingga membuat prolog yang saya buat
terlihat berlarut-larut. Tuhan benar-benar menguji saya dalam ke-Imanan seiring
berjalannya waktu saya menjadi seperti saat ini, menjadi seorang pria yang
telah berkepala dua.
Saya
terlahir dari keluarga dan masyarakat yang beragama Islam hampir 100%, disebuah
kampung bernama Pagedangan yang kala itu masuk Kecamatan Legok Kabupaten
Tangerang. Seperti kebanyakan anak-anak yang terlahir di tahun 90an, pendidikan
sudah dianggap menjadi dasar yang penting bagi orang tua. Kebetulan bapak saya
seorang Guru SD dan SMP(saat itu, sekarang beliau cuma aktif di SD) jadi beliau
sangat sadar akan pentingnya pendidikan hingga beliau tidak merokok dirumah.
Sedangkan ibu saya adalah mantan Santri ketika masa sekolahnya yang membuatnya terkadang
menjadi guru ngaji, juga ketika hari besar seperti Idul Adha atau Idul Fitri
serta bulan puasa beliau sering menjadi imam dan khotib untuk musola khusus
wanita di kampung.
Atas
dasar itulah di umur saya yang ke 4 mereka mulai memasukan saya pada jenjang
pendidikan TK Islami. Saya tidak begitu ingat apa yang terjadi kala itu, yang
saya ingat adalah saya di ajarkan huruf arab(setelah saya sadar beberapa tahun
kemudian) namun lebih suka keluar kelas lalu bermain-main karena saya punya
masalah menulis dan membaca di bandingkan anak lain yang membuat saya tidak
tertarik terhadap kegiatan kelas. Seminggu kemudian saya minta D.O dari TK
kepada ibu. Hahaha, hari itu saya masih ingat ketika pagi dimana ibu memandikan
saya untuk bersiap berangkat ke TK, saya berkata “Mah, abi gak mau kesana”. Abi
atau Ebi adalah nama kecil saya, saya di panggil ebi dikarenakan saya lahir
ketika usia kehamilan ibu baru 8 bulan, yang membuat saya ketika lahir terlihat
kecil seperti udang kering disbanding bayi lainnya. Sedangkan kenapa saya
bilang “gak mau kesana” sebab saya belum tau sama sekali saat itu tempat itu
adalah sekolah.
Mendengar
saya berkata seperti itu ibu seingat saya terlihat sedih, tapi akhirnya
menyetujuinya. Jadilah saya terlihat lebih terlambat dalam hal apapun di
bandingkan anak seusia saya lainnya. Mereka sudah bisa menulis dan
mengaji(membaca) sedangkan saya tidak bisa apa-apa. Jadi bahan bully keluarga
besarpun sering saya alami, saya selalu dibanding-bandingkan dengan sepupu saya
yang seumuran yang sudah mahir membaca dan menulis.
Well,
itu memang masa yang berat. Kau sudah dianggap pecundang sejak kecil memang
menyakitkan. Ibu dan Bapa akhirnya mulai mengajari saya dasar-dasar pemahaman
agama. Ibu saya mengajarkan mengaji, sedang bapa mengajarkan solat dan ke-Tuhanan.
Disitulah saya mengenal Tuhan dengan nama Allah. Bapa mengajarkan bahwa segala
hal adalah ciptaan Allah, termasuk saya. Mulai membicarakan Manusia yang di
ciptakan dari tanah yang membuat saya bingung tak terbayangkan. Tapi setidaknya
saya mengenal Tuhan, walau konsep ke-Tuhanan itu sungguh tak bisa saya mengerti
kala itu(sampai hari ini sebenarnya). Seperti dimana Allah? Allah itu laki-laki
atau perempuan?, dll. Syukurlah Bapa selalu menjawab sebisanya.
Saya
memang tertarik pada konsep ke-Tuhanan dan penciptaan segala hal. Tapi entah
mengapa ngaji dan solat saya tidak tertarik sama sekali saat itu. Saat itu ibu
mengajarkan ngaji dengan hanya menyuruh saya mengulang perkataannya. Misal ibu
bilang “Bissmillah” saya mengulanginya. Tapi itu tidak menarik sama sekali,
saya hanya ingin cerita tentang Allah yang maha kuasa itu. Hingga suatu malam
selepas mahgrib dimana saat saya tidak mau mengulangi apa yang di ucapkan ibu
ketika mengaji bapa saya yang mengawasi menjadi marah dan lalu mengurung saya
di kamar sendirian tanpa lampu menyala. Saya menangis, bapa terus mengomeli
dari luar kamar seraya berteriak “Kalo mau dikeluarin dari kamar harus mau
ngaji”. Saya pun menyetujuinya secara terpaksa, dari dalam hati saya kala itu
ada kebencian terhadap hal-hal bernama ngaji itu.
Well
mungkin sekian dulu curhatan ini, jika yang kuasa masih memberi waktu hidup di
dunia kepada saya, saya akan melanjutkanya. Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar